
foto pinjam dari sini
Judul : The Mocha Eyes (menemukanmu dalam secangkir cinta)
Penulis : Aida M.A.
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama (Mei 2013)
ISBN : 978-602-7888-32-6
Tebal : x + 250 halaman
Harga : Rp. 44.000
Tulisan ini adalah Repost dari tulisan yang berjudul [Review] Mengenal Cinta Lewat Secangkir Moka yang telah aku posting di Blog Catatan Kecilku pada tanggal 29 Desember 2013.
Muara, atau yang biasa disebut dengan Ara, adalah seorang gadis yang penuh dengan luka di hati. Ada 3 kejadian yang membuatnya begitu terpukul dan menyalahkan diri sendiri : menjadi korban perkosaan, ayahnya meninggal akibat shock atas musibah yang menimpa putri semata wayangnya dan dicampakkan oleh kekasihnya.
Trauma yang diderita Ara membuatnya menjadi pribadi yang pemurung, tertutup, kaku dan sinis. Sikapnya itu tak hanya membuatnya kehilangan sahabat, namun dia juga dicap sebagai orang yang antisosial dan aneh. Bahkan, cowok-cowok yang mencoba mendekatinya pun hanya mendapat tanggapan sinis dan curiga darinya.
Kondisi Ara tentu saja membuat pedih hati Ibunya. Setelah kematian suaminya, hanya Ara yang dimilikinya. Tak lelah dinasehatinya Ara untuk berdamai dengan masa lalu dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Beliau ingin Ara kembali menjadi gadis yang periang, ramah dan terbuka seperti dulu. Namun, Ara tetap tak berubah.
Keadaan mulai berubah saat Fariz datang dan mengenalkannya dengan secangkir moka. Fariz pun memberinya kebebasan memilih dalam memaknai hidup seperti secangkir moka : memilih menikmati rasa manis atau rasa pahit.
Perlahan, Ara kembali menemukan dirinya yang dulu. Tepat pada saat itu, Damar, kekasih yang dulu mencampakkannya namun masih dicintainya, kembali hadir dalam hidupnya dan menawarkan untuk kembali merajut tali kasih yang dulu sempat terputus.
Novel ini seolah telah berhasil menyuguhkan moka di hadapanku. Rasa pahit dan manis datang silih berganti. Penulis telah berhasil menggambarkan beratnya penderitaan seorang korban perkosaan. Trauma akibat perkosaan dan ketakutan mengungkapkan peristiwa itu membuat korban perkosaan kian terjerumus dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
Tokoh-tokoh yang muncul dalam novel ini memiliki peran yang jelas dan karakter yang kuat. Hanya saja, sosok Fariz yang disebut sebagai ‘womanizer’ menurutku agak sedikit berlebihan jika digambarkan selalu mampu memikat wanita. Yang aku ketahui, soal selera setiap orang itu berbeda, jadi rasanya agak aneh jika semua peserta wanita dalam pelatihan yang dilakukan Fariz jadi tertarik padanya.
Munculnya tokoh Meisha membuat cerita jadi menarik, karena memicu hadirnya konflik. Cerita yang sebelumnya nyaris terasa datar bahkan cenderung miskin konflik, jadi menarik dengan munculnya Meisha.
Uniknya, tokoh dalam novel ini tidak digambarkan secara detil penampilan fisiknya, terutama wajahnya. Penulis hanya menceritakan bahwa tokoh tersebut tinggi, menarik, cantik ataupun tampan. Namun, penulis tak menggambarkan secara detil tentang bagaimana cantik atau tampannya tokoh-tokoh tersebut.
Alur cerita berjalan lambat dan nyaris tanpa kejutan, karena semua masalah Ara sudah terbuka di awal. Salah satu masalah sudah dibuka di halaman 16. Sedangkan kedua masalah berikutnya dibuka di halaman 36 dan 38. Selanjutnya, pembaca lebih banyak disuguhi tentang beratnya hidup Ara akibat memikul ketiga masalahnya itu.
Ceritanya cukup runut dan logis. Ada sedikit flashback yang membantu pembaca mengetahui latar belakang tokoh-tokohnya. Pada akhirnya, tokoh utama mampu menemukan penyelesaian dari masalah yang dihadapinya. Hanya saja, sepertinya kesadaran untuk mencari penyelesaian itu terlalu cepat dan perubahan yang terjadi juga cukup instan.
Yang aku suka, banyak nasehat serta filosofi yang aku temukan di dalam novel karya Aida M.A. ini. Penulis yang juga seorang motivator ini sangat piawai menyuntikkan motivasi lewat dialog-dialog yang ditampilkannya dalam novelnya. Aku pun belajar tentang filosofi hidup melalui secangkir moka, seperti di bawah ini :
Masuk di halaman 170 yang menceritakan tentang usaha Fariz menunjukkan pada Ara tentang kekuatan pikiran manusia, aku sedikit bingung. Aku tak tahu, apakah itu ada kesalahan ketik atau aku yang salah memahami maksudnya.
Dalam kalimat tersebut dikatakan bahwa jari telunjuk tangan kanan yang lebih panjang, tapi mengapa yang dibayangkan memanjang justru jari telunjuk tangan kiri? Padahal digambarkan Ara membayangkan bahwa jari telunjuk tangan kanan yang lebih panjang dan dia keheranan saat memandang telunjuk tangan kanannya lebih tinggi dari telunjuk tangan kiri.
Untuk cerita flashback di halaman 14, rasanya lebih tepat jika kata “ini” diganti dengan “itu” karena kejadian yang diceritakan adalah kejadian masa lalu, saat itu. Bukan saat ini.
Dalam novel ini penulis (dengan terpaksa) menuliskan moka dalam 2 bahasa. Ditulis moka jika menceritakan tentang secangkir moka tanpa menyebutkan jenisnya. Dan ditulis mocha saat menceritakan tentang jenis moka tertentu yang memang lebih dikenal dalam Bahasa Inggris.
Untuk tampilannya, aku cukup puas dengan covernya yang menurutku sangat menarik dengan dominasi warna coklat. Penulisan halaman juga unik, karena tak ditulis di bagian bawah sebagaimana biasa, namun di sisi samping kanan / kiri halaman. Sementara, nama penulis dan judul buku yang biasanya tampil di bagian atas halaman, kini ditulis di bagian bawah. Menarik dan berbeda!
Hanya saja, menurutku ukuran hurufnya agak terlalu kecil. Seandainya hurufnya sedikit lebih besar akan lebih membuatku nyaman. Walau itu berarti akan membuat ketebalan novel ini lebih dari 250 halaman.
Singkat kata, novel ini sangat layak untuk dibaca karena melalui novel ini pembaca dapat belajar untuk memilih cara menikmati hidup. Kisah Ara hanyalah simbol tentang hidup yang tak bisa lepas dari masalah, dan itu juga dialami setiap manusia. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:

Muara, atau yang biasa disebut dengan Ara, adalah seorang gadis yang penuh dengan luka di hati. Ada 3 kejadian yang membuatnya begitu terpukul dan menyalahkan diri sendiri : menjadi korban perkosaan, ayahnya meninggal akibat shock atas musibah yang menimpa putri semata wayangnya dan dicampakkan oleh kekasihnya.
Trauma yang diderita Ara membuatnya menjadi pribadi yang pemurung, tertutup, kaku dan sinis. Sikapnya itu tak hanya membuatnya kehilangan sahabat, namun dia juga dicap sebagai orang yang antisosial dan aneh. Bahkan, cowok-cowok yang mencoba mendekatinya pun hanya mendapat tanggapan sinis dan curiga darinya.
Kondisi Ara tentu saja membuat pedih hati Ibunya. Setelah kematian suaminya, hanya Ara yang dimilikinya. Tak lelah dinasehatinya Ara untuk berdamai dengan masa lalu dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Beliau ingin Ara kembali menjadi gadis yang periang, ramah dan terbuka seperti dulu. Namun, Ara tetap tak berubah.
Keadaan mulai berubah saat Fariz datang dan mengenalkannya dengan secangkir moka. Fariz pun memberinya kebebasan memilih dalam memaknai hidup seperti secangkir moka : memilih menikmati rasa manis atau rasa pahit.
Perlahan, Ara kembali menemukan dirinya yang dulu. Tepat pada saat itu, Damar, kekasih yang dulu mencampakkannya namun masih dicintainya, kembali hadir dalam hidupnya dan menawarkan untuk kembali merajut tali kasih yang dulu sempat terputus.
***
Novel ini seolah telah berhasil menyuguhkan moka di hadapanku. Rasa pahit dan manis datang silih berganti. Penulis telah berhasil menggambarkan beratnya penderitaan seorang korban perkosaan. Trauma akibat perkosaan dan ketakutan mengungkapkan peristiwa itu membuat korban perkosaan kian terjerumus dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
Tokoh-tokoh yang muncul dalam novel ini memiliki peran yang jelas dan karakter yang kuat. Hanya saja, sosok Fariz yang disebut sebagai ‘womanizer’ menurutku agak sedikit berlebihan jika digambarkan selalu mampu memikat wanita. Yang aku ketahui, soal selera setiap orang itu berbeda, jadi rasanya agak aneh jika semua peserta wanita dalam pelatihan yang dilakukan Fariz jadi tertarik padanya.
Munculnya tokoh Meisha membuat cerita jadi menarik, karena memicu hadirnya konflik. Cerita yang sebelumnya nyaris terasa datar bahkan cenderung miskin konflik, jadi menarik dengan munculnya Meisha.
Uniknya, tokoh dalam novel ini tidak digambarkan secara detil penampilan fisiknya, terutama wajahnya. Penulis hanya menceritakan bahwa tokoh tersebut tinggi, menarik, cantik ataupun tampan. Namun, penulis tak menggambarkan secara detil tentang bagaimana cantik atau tampannya tokoh-tokoh tersebut.
Alur cerita berjalan lambat dan nyaris tanpa kejutan, karena semua masalah Ara sudah terbuka di awal. Salah satu masalah sudah dibuka di halaman 16. Sedangkan kedua masalah berikutnya dibuka di halaman 36 dan 38. Selanjutnya, pembaca lebih banyak disuguhi tentang beratnya hidup Ara akibat memikul ketiga masalahnya itu.
Ceritanya cukup runut dan logis. Ada sedikit flashback yang membantu pembaca mengetahui latar belakang tokoh-tokohnya. Pada akhirnya, tokoh utama mampu menemukan penyelesaian dari masalah yang dihadapinya. Hanya saja, sepertinya kesadaran untuk mencari penyelesaian itu terlalu cepat dan perubahan yang terjadi juga cukup instan.
Yang aku suka, banyak nasehat serta filosofi yang aku temukan di dalam novel karya Aida M.A. ini. Penulis yang juga seorang motivator ini sangat piawai menyuntikkan motivasi lewat dialog-dialog yang ditampilkannya dalam novelnya. Aku pun belajar tentang filosofi hidup melalui secangkir moka, seperti di bawah ini :
Perasaan manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu tidak akan merasakan bahagia, jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu berdasarkan apa yang kamu pilih! (hal. 77)
Kalau kamu mengandaikan hidupmu sebagai kopi yang pahit, sekalipun ada hari yang manis, kamu akan tetap merasa pahit. Begitu juga aku, hidupku itu seperti cokelat yang gurih. Maka, sekalipun ada yang pahit, aku akan mencoba menetralisasi (hal. 139)
Hidup itu ada pada secangkir moka. Suka dan tidak suka harus bergabung menjadi satu. Enak dan tidak enak harus diaduk menjadi satu karena enak tidak akan terasa enak, kalau tidak ada perbandingan yang tidak enak (hal. 172)
Rasa enak dan tidak enak, pahit dan gurih. Semua harus diaduk menjadi satu. Rasa selanjutnya adalah pilihan kita masing-masing. Bahkan, rasa gurih sekalipun menjadi idak enak jika terlalu fokus pada pahit! (hal. 175)
Masuk di halaman 170 yang menceritakan tentang usaha Fariz menunjukkan pada Ara tentang kekuatan pikiran manusia, aku sedikit bingung. Aku tak tahu, apakah itu ada kesalahan ketik atau aku yang salah memahami maksudnya.
“Sambil memejamkan mata, sekarang coba kamu bayangkan, jari telunjuk tangan kananmu lebih panjang dari jari telunjuk tangan kirimu. Coba bayangkan pelan-pelan telunjuk tangan kiri itu memanjang.”
Dalam kalimat tersebut dikatakan bahwa jari telunjuk tangan kanan yang lebih panjang, tapi mengapa yang dibayangkan memanjang justru jari telunjuk tangan kiri? Padahal digambarkan Ara membayangkan bahwa jari telunjuk tangan kanan yang lebih panjang dan dia keheranan saat memandang telunjuk tangan kanannya lebih tinggi dari telunjuk tangan kiri.
Untuk cerita flashback di halaman 14, rasanya lebih tepat jika kata “ini” diganti dengan “itu” karena kejadian yang diceritakan adalah kejadian masa lalu, saat itu. Bukan saat ini.
Laki-laki itu menyodoriku segelas jus buah, mungkin menyadari betapa kikuknya aku saat ini di depannya.
Dalam novel ini penulis (dengan terpaksa) menuliskan moka dalam 2 bahasa. Ditulis moka jika menceritakan tentang secangkir moka tanpa menyebutkan jenisnya. Dan ditulis mocha saat menceritakan tentang jenis moka tertentu yang memang lebih dikenal dalam Bahasa Inggris.
Untuk tampilannya, aku cukup puas dengan covernya yang menurutku sangat menarik dengan dominasi warna coklat. Penulisan halaman juga unik, karena tak ditulis di bagian bawah sebagaimana biasa, namun di sisi samping kanan / kiri halaman. Sementara, nama penulis dan judul buku yang biasanya tampil di bagian atas halaman, kini ditulis di bagian bawah. Menarik dan berbeda!
Hanya saja, menurutku ukuran hurufnya agak terlalu kecil. Seandainya hurufnya sedikit lebih besar akan lebih membuatku nyaman. Walau itu berarti akan membuat ketebalan novel ini lebih dari 250 halaman.
Singkat kata, novel ini sangat layak untuk dibaca karena melalui novel ini pembaca dapat belajar untuk memilih cara menikmati hidup. Kisah Ara hanyalah simbol tentang hidup yang tak bisa lepas dari masalah, dan itu juga dialami setiap manusia. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:
- Achmad Edi Goenawan30 Desember 2013 07.10Sukses dengan GA nya!
- huruf agak kecil agak kurang nyaman dibaca apalagi buat yang berkacamata kaya aku ya mbak :)BalasHapus
- mba... banyak review di blog ini
aku baca dr tempat mba reni aja :) - aku juga suka cerita yang banyak mengangkat filosofi hidup dalam beberapa dialognya (begitupun film). Dan membaca review mbak Reni ini jujur buat aku jadi kepingin baca bukunya :)BalasHapus
- tulisan yang menarik gan!
