Senin, 03 Februari 2014

Ma Yan, Gadis yang Teguh Hati



Judul buku : Ma Yan
Penulis : Sanie B Kuncoro
Editor : Rahmat Widada
Penerbit : Bentang
Cetakan : I, 2009
Tebal : 214 halaman
ISBN : 9789791227506

Tulisan ini adalah Repost dari tulisan yang berjudul Keteguhan Hati yang telah aku posting di Blog Catatan Kecilku pada tanggal 13 Maret 2009.

Keteguhan hati dalam menjalani pilihan terkadang tak mampu dimiliki oleh semua orang, bahkan oleh orang dewasa sekalipun. Karena dari keteguhan hati seringkali memunculkan banyak konsekuensi/resiko yang harus ditanggung. Seringkali, di saat resiko dirasa terlalu berat, maka keteguhan hati mulai goyah.

Tapi, ternyata keteguhan hati ada dalam diri seorang anak perempuan kecil. Keteguhan hatinya untuk tetap dapat bersekolah, mampu membuatnya bertahan menghadapi segala macam konsekuensi yang paling berat sekalipun. Anak perempuan itu bernama Ma Yan.

Ma Yan adalah anak pertama dari 3 orang bersaudara. Bersama orang tua dan adiknya, mereka tinggal di sebuah desa yang miskin di Zhangjiashu, wilayah Ningxia, China. Daerah tersebut bukan saja miskin, tapi juga tandus. Air sangat berharga di desa itu. Mereka terpaksa mencairkan salju untuk disimpan sebagai simpanan dalam menghadapi musim kemarau yang sangat panjang. Bahkan, untuk menjalankan sholat 5 waktu mereka menggantikan wudhu dengan bertayamum dengan pasir.







Kondisi desa tempat tinggal Ma Yan
Gambar diambil dari sini

Di daerah miskin itu, keluarga Ma Yan tergolong sebagai penduduk yang paling miskin. Suatu keadaan yang akan sangat mudah menjauhkan siapa saja dari mimpi. Walaupun miskin, Ma Yan dan kedua orang tuanya bertekad melakukan apa saja untuk bisa meraih pendidikan. Tentu saja dengan harapan agar suatu hari kelak, bukan lagi kemiskinan yang akan diwariskan oleh orang tua kepada anak-anaknya, melainkan masa depan yang jauh lebih baik.

Untuk bisa memberikan pendidikan itu, kedua orang tua Ma Yan rela melakukan apa saja guna membiayai pendidikan Ma Yan dan adiknya. Hasil pertanian mereka yang tak seberapa, seringkali tak ada sisa yang bisa dijual, karena hanya habis untuk makan sehari-hari. Itupun rasa kenyang masih belum mampu dirasakan oleh keluarga Ma Yan. Bahkan, kedua orang tua Ma Yan terkadang harus merelakan jatah nasi mereka yang cuma sedikit agar anak-anak mereka dapat makan lebih banyak.

Sang ayah yang kerap kali tak dapat mengandalkan hasil pertaniannya karena tanah yang tandus dan dilanda kemarau panjang harus rela pergi ke kota untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Itu pun seringkali tak memberikan penghasilan yang sepadan, karena kerap kali upah kuli bangunan tidak dibayarkan oleh sang mandor. Sementara ayah Ma Yan yang bekerja secara ilegal, tentu saja tak mampu menuntut bayarannya. Bahkan terkadang, setelah bekerja sekian lama, ayah Ma Yan tak memiliki cukup uang untuk kembali ke desanya.

Sementara ibu Ma Yan harus memutar otak guna membelanjakan uang yang ada hanya untuk hal-hal yang perlu saja. Bagian uang untuk biaya sekolah anak-anaknya, tak berani diganggu. Sementara untuk kebutuhan lain-lain bisa ditiadakan.

Untuk bisa bersekolah pun bukan perkara mudah bagi Ma Yan dan adiknya. Mereka harus menempuh jarak sejauh 20 km dengan berjalan kaki menuju asrama sekolah. Itupun tak mudah karena jalan yang harus dilalui penuh dengan bahaya, baik itu berupa hewan buas dan berbisa (seperti ular) maupun oleh para perampok yang suka menghadang di jalan. Bahkan perampok itu tak segan-segan merampok bekal makan siang ataupun alat tulis, apabila hanya itu yang mereka dapatkan dari korbannya. Sementara untuk menempuh perjalanan dengan menumpang traktor dengan biaya hanya 1 Yuan pun mereka tak mampu membayarnya. Karena uang sebesar itu adalah jumlah uang saku mereka untuk 1 pekan lamanya.

Ma Yan dan adiknya praktis hanya makan 2 kali sehari di asrama sekolah. Itupun bukan makanan yang lezat ataupun mengenyangkan. Pagi hari Ma Yan dan adiknya harus puas hanya dengan sarapan segelas air teh, sementara teman yang lain bisa membeli mie atau roti sebagai teman minum teh. Di siang hari, sekolah hanya menyajikan semangkuk kecil nasi putih. Kalau beruntung, Ma Yan dan adiknya bisa membeli sedikit sayur untuk memberi rasa pada menu makan siang mereka.

Sementara pada malam hari, mereka hanya makan 1 buah roti kukus yang dibawakan oleh ibunya sebagai jatah makan malam mereka selama 1 pekan. Satu roti kukus untuk satu makan malam. Kalau Ma Yan makan lebih dari jatah itu, berarti ada 1 hari dimana Ma Yan hanya ketemu makan pada siang hari saja. Itu berarti harus puasa selama 24 jam. Oleh karena itu, Ma Yan harus sering mengendalikan diri untuk tidak menambah jatah makan malamnya meskipun perutnya melilit kelaparan.

Suatu kali Ma Yan sangat ingin memiliki sebuah pena. Harapannya dengan pena dia bisa mencatat kisah hidupnya yang akan disimpan untuk suatu hari kelak dapat dikenangnya. Harga pena itu sebesar 2 Yuan. Sama dengan jumlah uang sakunya untuk 2 pekan lamanya. Pada pekan pertama 1 Yuan pertama berhasil disimpan meskipun untuk itu Ma Yan harus rela menelan makan siangnya yang hanya berupa semangkuk kecil nasi putih tanpa rasa, tanpa dilengkapi dengan sedikit sayur ataupun lauk sama sekali.

Pekan kedua, 1 Yuan yang diharapkannya tidak mampu dimiliki karena orang tuanya tidak mampu memberikan uang saku untuk satu pekan itu. Kembali Ma Yan melewati pekan keduanya dengan perut kelaparan yang hanya diiisi oleh semangkuk kecil nasi putih dan sebuah roti kukus. Baru pada pekan ketiga Ma Yan dapat membeli pena yang diidamkannya, ketika orangtuanya kembali dapat memberi uang saku sebesar 1 Yuan.

Kehidupan Ma Yan nyaris harus putus sekolah, karena biaya sekolah sudah semakin sulit ditanggung oleh keluarganya. Penolakan Ma Yan atas nasib yang harus dijalaninya membuat ibunya tak berkutik. Apalagi setelah Ma Yan memohon dengan sangat untuk tetap bisa sekolah, dan untuk itu Ma Yan rela kalau sampai harus kehilangan jatah nasinya. Melihat tekad anaknya yang sudah bulat, akhirnya sang ibu membulatkan tekad untuk ikut bekerja mencari uang. Meskipun pekerjaan yang harus dijalaninya sangat berat.

Keadaan Ma Yan berubah ketika ibunya dengan yakin menyerahkan buku catatan harian Ma Yan pada sekelompok orang asing yang mau meninggalkan desa mereka. Walau mereka asing satu sama lain dan tidak dapat berkomunikasi karena kendala bahasa, ternyata ibu Ma Yan sangat percaya bahwa lewat buku catatan harian Ma Yan orang-orang asing itu dapat memberikan keajaiban pada kehidupan mereka.

Kisah inspiratif ini aku dapatkan dari novel yang berjudul Ma Yan, karya Sanie B Kuncoro. Novel yang diambil dari kisah nyata ini mampu menguras air mataku saat aku membaca lembar demi lembar kisah hidup Ma Yan. Kisah dalam buku tersebut diakhiri dengan tekad Pierre Haski, seorang direktur harian Liberation (Perancis) untuk menampilkan perjuangan dan keteguhan hati Ma Yan dalam meraih pendidikan dalam harian Liberation. Tujuan Haski adalah agar dunia tahu betapa kerasnya perjuangan seorang Ma Yan. Pierre Haski adalah satu dari orang asing yang mendapat kepercayaan dari ibu Ma Yan menerima buku catatan harian Ma Yan.

Kisah yang belum selesai itu menggelitikku ingin mengetahui bagaimana kisah hidup selanjutnya dari Ma Yan. Maka, aku kemudian sibuk mencari kelanjutan cerita iut. Aku berhasil menemukan kelanjutan kisah itu di sini. Akhirnya pada bulan September 2001 Haski menuliskan kisah hidup Ma Yan dalam harian Liberation dengan judul : 'Je veux étudier' (I want to study). Cerita itu mendapat sambutan hangat dari masyarakat.


Ma Yan dan Ibunya
Gambar diambil dari sini

Sebagai respon atas banyaknya mendapat surat dan kiriman uang dari masyarakat, maka Haski mendirikan Yayasan yang bernama "Enfants du Ningxia" untuk mengumpulkan uang guna membantu anak-anak di desa Ma Yan agar bisa bersekolah. Ma Yan bahkan menjadi gadis pertama di desanya yang bisa masuk universitas. Bahkan kabar dari sini menyebutkan bahwa Ma Yan sedang bersiap untuk melanjutkan pendidikan ke Perancis !! Wow....


Happy Ma Yan (gambar diambil dari sini)

Dari sini aku mendapat kelanjutan kisah tersebut. Saat ini, Bai Juhua (ibu Ma Yan) mencurahkan sebagian besar waktunya untuk membantu "Enfants du Ningxia" memberikan beasiswa dan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak miskin di daerah-daerah pedalaman. Sebagian royalti dari publikasi tentang Ma Yan juga disumbangkan untuk membantu anak-anak itu. Bai Juhua juga sedang mencoba menyusun program untuk memberdayakan wanita di Ningxia melalui koperasi (kerajinan tangan) sulaman.

Sungguh luar biasa semangat yang demikian besar muncul dari jiwa-jiwa yang kelaparan. Keteguhan hati seorang anak dibantu dengan keyakinan ibunya, maka Ma Yan berhasil meneruskan pendidikan. Sesuatu yang selama ini menjadi impiannya.

Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:

  1. Segala sesuatu jika di dasari dengan niat baik dan kemauan yang keras serta keteguhan hati, insya Allah akan membawa kesuksesan, tak lupa juga dengan doa tentunya..

    Satu hikmah dapat di ambil dari tulisan ini.. Sipp Mbak..
  2. hebat sekali perjuangan si Ma Yan ini..
    dengan segala kekurangan yang ada, bahkan makan seadanya 2 kali sehari, tapi keinginan untuk bersekolah tak kunjung padam

    salut juga untuk Pierre Haski!
  3. Mbak... apa yang di share di sini sangat nyambung dengan tulisan teman saya di Chez Lauren ttg proper education yg seharusnya menjadi hak setiap individu, sebab tanpa hal itu maka banyak kesempatan yg dirampas karena dia menjadi tidak memiliki kemampuan yg cukup untuk berjuang meraihnya.

    Orang2 seperti Ma Yan adalah mereka yg secara sadar menolak situasi yg salah dan dengan sadar juga mengejar dan menggapai hak-nya. Luarbiasa! Sementara bnyk diantara kita yg memperlakukan hak kita, justru karena kemudahan yg didapatkan, dengan sembarangan!

    Luarbiasa kisah nyata ini.
  4. if there's a will there's a way.
    Begitu mudah menuliskan atau mengucapkan kalimat itu. Tapi tak semudah menjalankannya.

    Sosok Ma Yan membuktikan ego seorang anak yang harus dibuang demi sesuatu yang besar yang layak ia dapatkan. Tak semua mampu melakukan hal yang sama kecuali dengan satu itikad yang besar.

    Diawali dengan kata niat, Ma Yan sanggup menjadi pembelajaran bagi semua orang yang mampu mengambil hikmah.
  5. wah, bagi2 dun...
  6. Dimana ya aku waktu mbak Reni posting ini? Kita masih belum kenal kali ya?? Bagus banget loh Mbak! Bisa membawa emosiku. Menurutku mbak Reni sering2 review buku2 inspiratif kayak gini deh! Banyak review buku di bloggosphere, tp kebanyakan novel best seller, dan reviewnya hanya sebatas ringkasan atau summary aja, kurang menggigit! (kayak nyamuk aja..). Klo mbak Reni bener2 mereview dgn melibatkan emosi alias dari hati makanya bisa membawa emosi pembaca juga.

    Hehehe...kok jd ngereview reviewnya orang ya??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)