Sabtu, 09 Mei 2015

Berbagai Problematika di Sekitar Kita


Judul Buku : Tentang Kita
Penulis : Reda Gaudiamo
Penerbit : Stiletto Book
Terbit : April, 2015
Tebal : viii + 208 halaman
ISBN : 978-602-7572-37-9

Hidup adalah sekumpulan cerita dan Reda Gaudiamo mampu menggambarkan penggalan-penggalan kehidupan itu dalam berbagai cerpennya. Melalui berbagai cerpen yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen “Tentang Kita”, Reda mengajarkan kepada kita tentang berbagai problematika kehidupan yang bisa menimpa kehidupan siapa saja.

Berbagai problematika yang diceritakan Reda adalah prolematika yang bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sangat membumi. Itu sebabnya, saat membacanya tak menutup kemungkinan kita akan tercubit-cubit saat membacanya. Seakan ceritanya itu menyindir kita.

Problematika yang diceritakan Reda dalam buku ini sebagian besar adalah problematika yang terjadi dalam keluarga. Problematika yang dihadapi anak, suami istri yang ingin dan belum memiliki anak, orangtua yang memiliki anak remaja, orangtua yang cemas dengan pasangan hidup yang dipilih anaknya hingga problematika orangtua yang telah menjadi jompo dan bergantung sepenuhnya pada anak.

Sebagian orangtua terkadang lupa, bahwa anak memiliki kehidupan sendiri. Orangtua terkadang -tanpa sadar- memaksakan kehendak mereka pada anak-anaknya. Seperti cerita yang berjudul “Anak Ibu” (hal. 31-40).

Saat sekolah, “Ibu tidak minta kamu dapat delapan. Tujuh saja sudah cukup. Tidak lebih. Ini buat kebaikan kamu! Heran, apa susahnya dapat tujuh? Apa?” (hal. 32).

Saat SMA, “Ibu tidak minta macam-macam. Ibu cuma ingin di rumah kita nanti ada dokter. Kamu. Itu saja, Heran, apa susahnya masuk IPA? Apa?” (hal. 33).

Saat sudah jadi dokter, “Bukalah praktik yang normal, yang beres, yang menghasilkan, Seperti dokter-dokter lain itu, lho. Sudah. Tidak macam-macam. Apa susahnya? Tidak ada!” (hal. 35)

Saat belum menikah, “Sekali-kali turuti permintaan Ibu, apa salahnya? Ibu tidak minta macam-macam. Ibu itu cuma minta kamu dapat pasangan. Kawin. Punya suami. Ibu cuma ingin lihat kamu bahagia. Itu saja. Apa susahnya, sih?” (hal. 37)

Saat sudah menikah, “Kamu ini maunya apa sih? Bikin Ibu mati tua tanpa cucu? Tega betul kamu! Ibu tidak minta dibikinkan rumah mewah, jalan-jalan ke luar negeri apalagi berlian. Tidak! Ibu cuma minta cucu. Cucu saja. Mumpung masih dikasih umur sama Yang Di Atas, cepat aku dikasih cucu! Apa susahnya, sih?” (hal. 38)

Saat rumah tangga diguncang prahara, “Ibumu tidak minta macam-macam. Ibu cuma ingin kamu bertahan. Demi Ibu. Kau ini anak Ibu. Kau pasti tidak ingin Ibu jadi sedih dan malu karena keputusanmu itu, kan? Sudah, cuma itu. Ibu ndak minta macam-macam…. Apa susahnya? Apa?” (hal. 40)

Urusan memilih calon menantu pun seringkali menjadi problematika tersendiri. Seperti saat Dini harus menghadapi penolakan sang ayah atas calon suami pilihannya. Ternyata, sang Ayah kuatir jika Dini menderita. Ayah Dini, yang merasa bukan sebagai ayah dan suami yang membanggakan, melihat calon suami Dini adalah gambaran dirinya saat muda dulu.

“Aku tak ingin melihatmu kalah. Itu menyakitkan. Aku juga tak mau mendengar Dini menghambat kemajuannya demi kau. Itu pasti lebih menyakitkan lagi. Dia akan lebih laju berjalan dengan kakinya sendiri. Begitu juga dengan kau.” (hal. 18-19).

Lain lagi dengan Ibu Kanya yang keberatan saat Kanya yang cantik jelita ternyata memilih seorang lelaki yang hitam legam, tua dan agak botak. Hal yang paling membuat Ibu Kanya kuatir adalah jika cucunya nanti berkulit hitam legam juga, karena menurutnya gen hitam itu dominan. Dan, ternyata memang benar, anak Kanya berambut keriting, berbadan tegap, gempal, berkulit hitam. Bagaimana reaksi Ibu Kanya?

Ketika ia lahir, Ibu berteriak gembira. Ketika ia mulai merangkak, Ibu menyanyi senang. Dan, ketika ia bisa mengucapkan kata, “Yang… Eyang.…” Ibu menangis haru. Sekarang sang menantu dipuja-puja. Katanya, ia lelaki paling tepat untuk Kanya yang manja, yang banyak maunya, yang keras kepala, yang cengeng, dan seterusnya. (hal. 48)

Dan saat Addo (kakak Kanya) punya pacar, Ibu Kanya kembali uring-uringan. Dengar-dengar dari Bapak, Ibu tak suka pada pacar Addo yang kulitnya terlalu putih. Seperti kertas. Nanti cucunya…. (hal. 49).

Urusan menyampaikan isi hati ternyata juga bisa menjadi problematika tersendiri. Seperti cerita dalam “Aku : Laki-laki”.

Tenggorokanku terus saja terasa kering, padahal aku sudah menelan ludah berkali-kali. Aku ingin menjerit. Protes keras! Menyumpah-nyumpah. Mengapa menyatakan cinta harus masuk dalam tugas pria? Mengapa pria yang harus melakukannya? Mengapa seluruh dunia percaya bahwa buat pria ini soal kecil? Tak masalah? Ide siapa itu? Siapa? (hal. 143).

Problematika remaja yang salah pergaulan juga muncul dalam cerita Minggu Dini Hari (hal. 130-136) dan “Dunia Kami” (hal. 164-198).

Saya khawatir Ibu lupa bahwa sekarang saya bukan anak SMP lagi. Saya sudah SMA, meski baru beberapa bulan. Ini masa sekolah yang paling indah. Jadi mestinya dinikmati, bukan? Dan itu sangat cocok dengan yang disampaikan kakaknya Jodi -teman yang duduk di belakang saya. Dia bilang, ini masa yang pas untuk segala bentuk kegilaan yang pernah ada dan yang bisa ada tanpa harus merasa bersalah. (hal. 165).

“Kenapa mesti jauh-jauh pergi kalau cuma mau tobat? Ibu dan kakakmu pasti membantu. Ibu ngerti sekarang, jadi anak sekolah zaman sekarang itu ndak gampang. Anak baik bisa jahat karena teman-temannya jahat. Ibu ngerti, Le. Ibu akan bantu kamu. Mbakmu juga. Yang penting kamu mau cerita. Cerita!” (hal. 193).

Untuk buku ini, sayangnya aku masih menemukan beberapa typo di dalamnya. Beberapa typo itu kutemukan di halaman-halaman depan saja. Halaman-halaman belakang sudah bersih dari typo. Beberapa typo yang aku temukan ini semoga bisa diperbaiki untuk cetakan berikutnya. Ini dia typo yang aku maksudkan :
… dari kebanyak penulis fiksi… (hal. vii) --> kebanyakan
Bila dibaratkan kue, … (hal. viii) --> diibaratkan
… apakah sebuah kesederhaan cerita… (hal. viii) --> kesederhanaan
datang menjengkukku, dia… (hal. 2) --> menjengukku
… bisa bekerja sama denga klien. (hal. 9)  --> dengan
akan ke rumah ayahamu…. (hal. 14) --> ayahmu
melakukan sesuatu yang berbaik bagi kami… (hal. 21) --> terbaik
Iia bisa saja turun (hal. 87) --> Ia
… tertarik memperhatikan toko-toko-toko (hal. 165) --> toko-toko
I/- berjalan sambil melompat-lompat. (hal. 181) --> I-3

Ada kesalahan ketik (atau inkonsistensi?) di cerita “Potret Keluarga” (hal. 41-49). Diceritakan bahwa dalam potret keluarga itu ada 3 anak yaitu : Addo, Kanya dan Dito. Namun, tiba-tiba nama Addo berubah jadi Tino. Dan, nama Addo baru muncul kembali di bab terakhir.
… Itu reaksi yang selalu muncul setiap kali Tino dimintai pendapat… (hal. 44)
… Kecuali piringku dan Tino. Berdua... (hal. 45)
Tino bisa melenguh sepanjang-panjangnya… (hal. 45)
Tino mengeluarkan suara seperti sapi… (hal. 45)
Sejak Tino punya pacar… (hal. 48)
Tino akan menyusuk jejak Kanya… (hal. 49)
… Ibu tak suka pada pacar Addo… (hal. 49)

Yang aku tak tahu, apakah kata serba yang diikuti kata lainnya harus digandeng dalam penulisannya? Misalnya: serbapas (hal. 2), serbabasah (hal. 19).

Terlepas dari beberapa kesalahan di atas, aku sangat menikmati buku ini. Biasanya, aku kurang suka membaca cerpen, namun kali ini aku sangat menikmatinya. Sejujurnya, ini kali pertama aku membaca karya Reda Gaudiamo. Namun sekali membaca, aku langsung jatuh cinta. Aku jadi menyesal mengapa tak mengenal karyanya dari dulu. Kemana saja aku selama ini?!

Aku sependapat dengan Ibu Iis R. Soelaeman soal karya-karya Reda ini. Alurnya mengalir. Tidak rumit. Bahasanya lugas. Karakter tokoh pun tak aneh, karena bisa kita jumpai dalam keseharian. Temanya juga berkisar tentang persoalan keseharian. Menariknya, kita bisa mengambil nilai-nilai dari setiap cerita yang disuguhkannya. So, aku tak berpikir lama untuk mengatakan bahwa kini aku jadi salah satu penggemar karya-karya Reda Gaudiamo! Kalaupun ada kekurangan yang aku temukan hanyalah… aku kurang mendapatkan unsur kejutan di akhir ceritanya. Itu saja! Dan itu subyektif sekali bukan?

5 komentar:

  1. Belum pernah baca karya Reda, tapi sepertinya renyah sekali ya? Dan mungkin kekuatan utamanya ada pada kemampuannya untuk membuat pembaca merasa 'related' dengan permasalahan tokoh-tokohnya (ini saya ngomong cuma modal baca artikel ini saja). Dunia dan problematikanya riil. Review yang menarik. :)

    BalasHapus
  2. Belum pernah baca bukunya..
    tapi sepertinya menarik ya buku karyanya Reda
    Coba nyari di toko buku :)

    BalasHapus
  3. aku belum tahu ceritanya hehehe *ehh kan aku belum baca bukunya :p

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)