Judul : Dear Umbrella
Penulis : Alfian Daniear
Penerbit : teen@noura
Cetakan : I (Mei 2013)
Tebal : x + 310 halaman
ISBN : 9786027816404
Tulisan ini adalah Repost dari tulisan yang berjudul "Review : Dear Umbrella" yang telah aku posting di Blog Catatan Kecilku pada tanggal 25 Pebruari 2014.
Bagi kita, payung hanyalah sekedar payung, sebuah benda yang nyaris tak memiliki arti penting dalam hidup kita. Namun, sangat berbeda bagi Raline, seorang remaja desa di Magetan. Baginya, payung itu menyimpan kenangan yang sangat berharga.
Payung putih berlukiskan bunga flamboyant yang dikelilingi kupu-kupu miliknya adalah pemberian dari Zidan, sehari sebelum kepergiannya yang tanpa pamit ke Jakarta. Baginya menjaga payung itu sepenuh hati ibarat menjaga perasaannya kepada Zidan. Menyimpan payung itu seolah menyimpan harapan suatu saat akan bertemu Zidan kembali.
Semenjak kepergian Zidan, Raline jadi pendiam dan pemurung. Bahkan setelah 3 tahun berlalu, Raline tetap menarik diri dari pergaulannya. Dia hanya “bersahabat” dengan payung kenangan dari Zidan yang selalu setia dibawanya kemanapun.
Kehidupan tenang Raline beserta ayah, ibu dan juga adiknya di Magetan terusik saat ayahnya yang bekerja di Pasar Malam mengalami kecelakaan. Ayahnya yang hendak memperbaiki sebuah bianglala yang rusak, malah terjatuh dan tertimpa sekotak bianglala.
Meski nyawa ayahnya tertolong akibat kecelakaan itu, namun untuk beberapa saat lamanya ayahnya tak bisa bekerja. Itu artinya tak ada pemasukan untuk sekolah Raline dan Rifan, untuk pengobatan ayahnya, dan untuk persiapan persalinan ibunya. Agar Raline tetap bisa sekolah, maka Raline dititipkan pada Eyang Utomo (paklik dari ibu Raline) di Jakarta. Meski dengan berat hati berpisah dengan keluarganya, Raline menerima keputusan itu.
Teman-teman barunya di Jakarta menyadarkan Raline untuk beradaptasi dengan cepat. Dia tak mungkin terus menerus menjadi Raline yang dingin dan tak mau bergaul dengan orang lain. Persahabatannya dengan Meghan yang memiliki latar belakang keluarga tak jauh beda dengannya, membuat Raline pun ingin kerja paruh waktu seperti Meghan. Berbekal informasi dari Eyang Utomo, Raline akhirnya mendapatkan kerja paruh waktu di Dream’s Window sebuah bookstore, bakery dan cafĂ©.
Di tempatnya bekerja Raline mengenal Elbert, seorang cowok yang aneh, usil dan menyebalkan, namun lama-lama membuat Raline kagum padanya. Elbert mampu mengubah sikap dingin Raline dan bersamanya Raline merasakan kedekatan yang sama seperti saat dia dulu bersama Zidan.
Masalah mulai muncul saat tiba-tiba Raline kembali bertemu Zidan. Lelaki yang selama ini ditunggu kehadirannya namun justru saat dia muncul kembali Raline malah memilih menjauh. Saat Raline bisa menerima kembali Zidan ternyata lelaki itu sudah jauh berubah. Di lain pihak Elbert pun diam-diam menyimpan rasa kepada Raline. Kepada siapakah hati Raline akan berpaling?
Masalah Raline bertambah saat mendapati sikap Mbak Sherin, pimpinannya di Dream’s Window, yang aneh. Mengapa Mbak Sherin sering bertanya tentang Eyang Utomo? Mengapa pula Mbak Sherin jadi sering mengantarnya pulang? Rasa penasarannya kian bertambah saat dia menemukan foto yang tersimpan dalam komputer Mbak Sherin.
Saat membaca prolog, aku langsung merasa tertarik dan ingin tahu ceritanya. Aku sempat menduga-duga siapa “aku” yang bercerita itu. Di akhir prolog, aku mendapatkan kejutannya! Aku sama sekali tak menduga bahwa “aku” adalah sebuah payung. Aku pun jadi tergelitik untuk mengetahui seberapa menariknya kisah tentang sebuah payung.
Salah satu keunggulan novel yang menjadi juara dalam Noura Books Academy ini adalah deskripsi yang detil. Contohnya tentang pasar malam. Penulis mampu menggambarkan pasar malam mulai dari aneka permainan yang ada di sana, aneka penjual mainan dan juga jenis jajanan yang dijual di sana.
Penggambaran yang detil itu membuatku ikut terbawa perasaan cemas dan tegang saat Raline dan ibunya nekad menerobos hujan untuk menuju rumah sakit. Aku merasa khawatir dan cemas juga tentang keselamatan Raline dan ibunya, juga nasib yang menimpa ayahnya.
Kekuatan lain dalam novel ini adalah karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Tak banyak tokoh dalam novel ini juga membuat pembaca tak perlu mengerutkan kening untuk mengingatnya.
Novel ini menyelipkan beberapa nasehat yang patut dicatat. Aku paling suka dengan nasehat dari Eyang Utomo. “Salah satu hal berat yang dalam kehidupan adalah menerima apa pun yang terjadi, termasuk menerima maaf lalu memaafkan. “(hal. 228)
Terkadang penulis menggunakan idiom yang menarik. Untuk menggambarkan “kerlap-kerlip dari aneka wahana komidi putar dan aneka kios di sebuah pasar malam” penulis menggambarkannya sebagai “jelmaan kunang-kunang” (hal. 8).
Pemilihan sudut pandang orang ketiga dalam novel ini aku rasa adalah pilihan yang tepat. Dengan begitu, penulis dapat lebih leluasa untuk mengeksplorasi perasaan dan pikiran masing-masing tokohnya.
Namun, novel ini juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah pemakaian kata yang kurang tepat. Misalnya dalam kalimat “Hanya saja momen buka giling biasanya dipaskan dengan dimulainya kegiatan penggilingan tebu di pabrik gula.”(hal. 20). Kata “dipaskan” itu adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia dari kata “dipaske” pada Bahasa Jawa. Menurutku, kata “dipaskan” lebih tepat jika diganti dengan kata “dilaksanakan bertepatan”.
Selanjutnya pada kalimat “Ibu mengenakan kemeja lengan panjang polkadot dan rok panjang berwarna merah.” (hal. 47). Kata “kemeja” itu menurutku lebih tepat jika diganti dengan “blus”. Karena kemeja adalah baju laki-laki sementara blus adalah baju perempuan. Membayangkan baju laki-laki bercorak polkadot rasanya aneh banget kan?
Pada halaman 23 diceritakan tentang cetakan kue puthu yang terbuat dari bambu berdiameter kecil tampak di atas pemanggangnya. Kata “pemanggangnya” di sini tidak tepat, karena puthu tidak dipanggang melainkan dikukus.
Juga pada kalimat “Satu set telur ayam yang akan dimasukkan dalam adonan masih teronggok di atas rak.” (hal. 143). Kata “set” di sini rasanya aneh untuk menggambarkan jumlah telur ayam. Lebih tepat jika disebutkan beberapa butir telur ayam.
Kejanggalan dalam novel ini muncul saat Raline tidak tahu soal Eyang Utomo yang tinggal di Jakarta. Padahal sewaktu muda dulu ibu Raline sempat tinggal bersama Eyang Utomo. Keluarga Raline juga telah banyak berhutang jasa pada keluarga Eyang Utomo. Jadi, terasa janggal jika sampai Raline SMA dia belum banyak tahu tentang Eyang Utomo. Lazimnya, orang tua suka bercerita tentang masa lalu kepada anak-anaknya. Mereka juga suka berkisah tentang anggota keluarga yang mereka miliki, apalagi yang telah memberikan banyak jasa pada mereka. Aku jadi bertanya-tanya, seandainya saja Raline tak terpaksa sekolah ke Jakarta, sampai kapan dia tak tahu tentang keluarga Eyang Utomo?
Kejanggalan lain adalah seringnya muncul nama pohon/bunga flamboyan. Seakan-akan tanaman yang ada dimana-mana hanyalah flamboyant. Bahkan payung Raline pun bergambar flamboyan. Album surat milik Raline pun ada sketsa flamboyant.
Inkonsistensi muncul dalam penggambaran payung Raline. Pada halaman 5 digambarkan payung itu berlukiskan bunga flamboyant yang dihinggapi kupu-kupu cantik. Namun pada halaman 17 digambarkan payung itu berlukiskan bunga flamboyant yang dikelilingi kupu-kupu.
Novel ini nyaris bersih dari typo. Aku hanya menemukan sebuah kesalahan ketik pada judul di Bab 24. Seharusnya Dear Elbert, tertulis Dear Albert (hal. 265).
Tulisan ini sudah dipublish oleh pamerbuku.com di sini dengan judul : Sejuta Kisah dari Sebuah Payung
Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:
Bagi kita, payung hanyalah sekedar payung, sebuah benda yang nyaris tak memiliki arti penting dalam hidup kita. Namun, sangat berbeda bagi Raline, seorang remaja desa di Magetan. Baginya, payung itu menyimpan kenangan yang sangat berharga.
Payung putih berlukiskan bunga flamboyant yang dikelilingi kupu-kupu miliknya adalah pemberian dari Zidan, sehari sebelum kepergiannya yang tanpa pamit ke Jakarta. Baginya menjaga payung itu sepenuh hati ibarat menjaga perasaannya kepada Zidan. Menyimpan payung itu seolah menyimpan harapan suatu saat akan bertemu Zidan kembali.
Semenjak kepergian Zidan, Raline jadi pendiam dan pemurung. Bahkan setelah 3 tahun berlalu, Raline tetap menarik diri dari pergaulannya. Dia hanya “bersahabat” dengan payung kenangan dari Zidan yang selalu setia dibawanya kemanapun.
Kehidupan tenang Raline beserta ayah, ibu dan juga adiknya di Magetan terusik saat ayahnya yang bekerja di Pasar Malam mengalami kecelakaan. Ayahnya yang hendak memperbaiki sebuah bianglala yang rusak, malah terjatuh dan tertimpa sekotak bianglala.
Meski nyawa ayahnya tertolong akibat kecelakaan itu, namun untuk beberapa saat lamanya ayahnya tak bisa bekerja. Itu artinya tak ada pemasukan untuk sekolah Raline dan Rifan, untuk pengobatan ayahnya, dan untuk persiapan persalinan ibunya. Agar Raline tetap bisa sekolah, maka Raline dititipkan pada Eyang Utomo (paklik dari ibu Raline) di Jakarta. Meski dengan berat hati berpisah dengan keluarganya, Raline menerima keputusan itu.
Teman-teman barunya di Jakarta menyadarkan Raline untuk beradaptasi dengan cepat. Dia tak mungkin terus menerus menjadi Raline yang dingin dan tak mau bergaul dengan orang lain. Persahabatannya dengan Meghan yang memiliki latar belakang keluarga tak jauh beda dengannya, membuat Raline pun ingin kerja paruh waktu seperti Meghan. Berbekal informasi dari Eyang Utomo, Raline akhirnya mendapatkan kerja paruh waktu di Dream’s Window sebuah bookstore, bakery dan cafĂ©.
Di tempatnya bekerja Raline mengenal Elbert, seorang cowok yang aneh, usil dan menyebalkan, namun lama-lama membuat Raline kagum padanya. Elbert mampu mengubah sikap dingin Raline dan bersamanya Raline merasakan kedekatan yang sama seperti saat dia dulu bersama Zidan.
Masalah mulai muncul saat tiba-tiba Raline kembali bertemu Zidan. Lelaki yang selama ini ditunggu kehadirannya namun justru saat dia muncul kembali Raline malah memilih menjauh. Saat Raline bisa menerima kembali Zidan ternyata lelaki itu sudah jauh berubah. Di lain pihak Elbert pun diam-diam menyimpan rasa kepada Raline. Kepada siapakah hati Raline akan berpaling?
Masalah Raline bertambah saat mendapati sikap Mbak Sherin, pimpinannya di Dream’s Window, yang aneh. Mengapa Mbak Sherin sering bertanya tentang Eyang Utomo? Mengapa pula Mbak Sherin jadi sering mengantarnya pulang? Rasa penasarannya kian bertambah saat dia menemukan foto yang tersimpan dalam komputer Mbak Sherin.
Saat membaca prolog, aku langsung merasa tertarik dan ingin tahu ceritanya. Aku sempat menduga-duga siapa “aku” yang bercerita itu. Di akhir prolog, aku mendapatkan kejutannya! Aku sama sekali tak menduga bahwa “aku” adalah sebuah payung. Aku pun jadi tergelitik untuk mengetahui seberapa menariknya kisah tentang sebuah payung.
Salah satu keunggulan novel yang menjadi juara dalam Noura Books Academy ini adalah deskripsi yang detil. Contohnya tentang pasar malam. Penulis mampu menggambarkan pasar malam mulai dari aneka permainan yang ada di sana, aneka penjual mainan dan juga jenis jajanan yang dijual di sana.
Penggambaran yang detil itu membuatku ikut terbawa perasaan cemas dan tegang saat Raline dan ibunya nekad menerobos hujan untuk menuju rumah sakit. Aku merasa khawatir dan cemas juga tentang keselamatan Raline dan ibunya, juga nasib yang menimpa ayahnya.
Kekuatan lain dalam novel ini adalah karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Tak banyak tokoh dalam novel ini juga membuat pembaca tak perlu mengerutkan kening untuk mengingatnya.
Novel ini menyelipkan beberapa nasehat yang patut dicatat. Aku paling suka dengan nasehat dari Eyang Utomo. “Salah satu hal berat yang dalam kehidupan adalah menerima apa pun yang terjadi, termasuk menerima maaf lalu memaafkan. “(hal. 228)
Terkadang penulis menggunakan idiom yang menarik. Untuk menggambarkan “kerlap-kerlip dari aneka wahana komidi putar dan aneka kios di sebuah pasar malam” penulis menggambarkannya sebagai “jelmaan kunang-kunang” (hal. 8).
Pemilihan sudut pandang orang ketiga dalam novel ini aku rasa adalah pilihan yang tepat. Dengan begitu, penulis dapat lebih leluasa untuk mengeksplorasi perasaan dan pikiran masing-masing tokohnya.
Namun, novel ini juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah pemakaian kata yang kurang tepat. Misalnya dalam kalimat “Hanya saja momen buka giling biasanya dipaskan dengan dimulainya kegiatan penggilingan tebu di pabrik gula.”(hal. 20). Kata “dipaskan” itu adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia dari kata “dipaske” pada Bahasa Jawa. Menurutku, kata “dipaskan” lebih tepat jika diganti dengan kata “dilaksanakan bertepatan”.
Selanjutnya pada kalimat “Ibu mengenakan kemeja lengan panjang polkadot dan rok panjang berwarna merah.” (hal. 47). Kata “kemeja” itu menurutku lebih tepat jika diganti dengan “blus”. Karena kemeja adalah baju laki-laki sementara blus adalah baju perempuan. Membayangkan baju laki-laki bercorak polkadot rasanya aneh banget kan?
Pada halaman 23 diceritakan tentang cetakan kue puthu yang terbuat dari bambu berdiameter kecil tampak di atas pemanggangnya. Kata “pemanggangnya” di sini tidak tepat, karena puthu tidak dipanggang melainkan dikukus.
Juga pada kalimat “Satu set telur ayam yang akan dimasukkan dalam adonan masih teronggok di atas rak.” (hal. 143). Kata “set” di sini rasanya aneh untuk menggambarkan jumlah telur ayam. Lebih tepat jika disebutkan beberapa butir telur ayam.
Kejanggalan dalam novel ini muncul saat Raline tidak tahu soal Eyang Utomo yang tinggal di Jakarta. Padahal sewaktu muda dulu ibu Raline sempat tinggal bersama Eyang Utomo. Keluarga Raline juga telah banyak berhutang jasa pada keluarga Eyang Utomo. Jadi, terasa janggal jika sampai Raline SMA dia belum banyak tahu tentang Eyang Utomo. Lazimnya, orang tua suka bercerita tentang masa lalu kepada anak-anaknya. Mereka juga suka berkisah tentang anggota keluarga yang mereka miliki, apalagi yang telah memberikan banyak jasa pada mereka. Aku jadi bertanya-tanya, seandainya saja Raline tak terpaksa sekolah ke Jakarta, sampai kapan dia tak tahu tentang keluarga Eyang Utomo?
Kejanggalan lain adalah seringnya muncul nama pohon/bunga flamboyan. Seakan-akan tanaman yang ada dimana-mana hanyalah flamboyant. Bahkan payung Raline pun bergambar flamboyan. Album surat milik Raline pun ada sketsa flamboyant.
Inkonsistensi muncul dalam penggambaran payung Raline. Pada halaman 5 digambarkan payung itu berlukiskan bunga flamboyant yang dihinggapi kupu-kupu cantik. Namun pada halaman 17 digambarkan payung itu berlukiskan bunga flamboyant yang dikelilingi kupu-kupu.
Novel ini nyaris bersih dari typo. Aku hanya menemukan sebuah kesalahan ketik pada judul di Bab 24. Seharusnya Dear Elbert, tertulis Dear Albert (hal. 265).
Tulisan ini sudah dipublish oleh pamerbuku.com di sini dengan judul : Sejuta Kisah dari Sebuah Payung
Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:
- joe25 Februari 2014 20.40wah berarti cerita ini dari sudut pandang si payung ya mbak
- Wah, salut atas ketelitiannya...tapi baca reviewnya, ini buku layak beli...penasaran siapa yang raline pilih? kayaknya sih Elbert..hehe
- wah mbak membaca sedetailnya. sungguh jeli mbak nih...
- seminggu baca berapa novel mbak?
- kalo mampir tempat mbak ni, pastilah buat gregetan karena kok bisa begitu mendalami setiap novel yang direview. hehehe #Salut
- Waaah mbak Reni cermat sekali dg tata bahasanya. Untung nggak jadi editorku hahahaaa.... Aku berantakan soalnya mbak
- Pembaca yang cermat hehe..., review-nya sangat detail. Terima kasih sudah berbagi. Bukunya yang menarik pastinya.
- Aku termasuk orang yg tidak begitu suka dengan novel bertema cinta. Tapi uraian mbak Reuni di sini meninggalkan rasa penasaran pada Novel ini.