Judul : Stone In My Hand
Penulis : Cathryn Clinton
Kategori : Fiksi Sejarah
Penerbit : DAR! Mizan
Th. Terbit : 2004 (cetakan I)
Tebal : 231 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 11.000,- (diskon)
Tulisan ini adalah Repost dari tulisan yang berjudul Lemparan Batu yang telah aku posting di Blog Catatan Kecilku pada tanggal 2 September 2009.
Masih ada cerita tersisa dari perjalananku ke Jakarta. Semoga sahabat-sahabat yang membaca tidak bosen deh. (^_^) Kali ini aku mau cerita tentang kejadian yang aku alami selama perjalananku yang terakhir kali dengan Kereta Api beberapa hari yang lalu.
Pada saat kereta belum terlalu jauh meninggalkan stasiun Madiun, tiba-tiba terdengar suara benturan yang cukup keras di badan kereta. Rupanya ada orang jahil yang melempari kereta dengan menggunakan batu. Wah, kira-kira mengapa ya ada orang yang sampai berbuat seperti itu ?
Pengalaman itu belum cukup. Saat pulang dari Jakarta, tiba-tiba ada orang yang melempar batu lagi ke kereta yang aku tumpangi. Kali ini mengenai kaca kereta. Hal itu tentu saja mengagetkan penumpang yang duduk tepat di samping jendela, 2 kursi di depanku. Untungnya kaca jendelanya tidak sampai pecah, hanya retak saja. Seandainya kacanya pecah, bisa dipastikan penumpangnya pasti akan mengalami luka yang serius tuh.
Beberapa jam kemudian kejadian serupa terjadi lagi. Kali ini untungnya mengenai badan kereta, seperti saat keberangkatanku sebelumnya. Aku jadi semakin heran, mengapa semakin banyak yang melempari kereta dengan batu. Padahal pada 2 kali perjalananku ke Jakarta sebelumnya, dengan kereta juga, kejadian seperti itu tak terjadi.
Aku tak tahu tentang apa yang menyebabkan terjadinya pelemparan batu itu. Aku tak paham apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Kalau hanya iseng saja, aku tak yakin, karena tindakan itu bisa saja melukai dan mencelakai orang lain. Kalau dilakukan karena rasa tak suka, maka rasa tak suka itu ditujukan kepada siapa ?
Soal lemparan batu itu membuatku jadi teringat dengan buku yang beberapa hari yang lalu selesai aku baca. Buku itu berjudul "Stone in My Hand (sebuah pesan cinta)". Buku yang merupakan karangan Cathryn Clinton ini merupakan sebuah fiksi sejarah, yang menceritakan tentang seorang gadis bernama Malaak dan keluarganya, yang terjadi pada Kota Gaza pada tahun 1988 dan 1989. Pada saat itu Gaza sedang dalam pendudukan tentara Israel dan merupakan tahun awal dari kebangkitan Intifada yang pertama kali. Intifada secara harfiah berarti pembebasan.
Digambarkan, Malaak si gadis kecil itu sempat menjadi pribadi yang sangat tertutup dan pendiam sejak kematian ayahnya pada jaman pendudukan tentara Israel itu. Kehilangan sang ayah sangat memukul perasaan Malaak. Ditambah lagi adanya perubahan keadaan yang semula tentram dan damai menjadi situasi yang sangat tidak menentu dan tidak aman semenjak pendudukan tentara Israel. Dalam kesendiriannya, dan mencoba mencari jawab atas semua tanya yang tak jua menemukan jawabnya, Malaak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama seekor burung yang diberinya nama Abdo.
Setelah ayahnya meninggal, Malaak hidup bersama ibunya, Hend kakak perempuannya dan Hamid, kakak laki-lakinya. Malaak, kakak perempuannya dan ibunya memilih untuk tidak terlibat dalam konflik. Mereka beranggapan rasa aman dapat mereka peroleh jika mereka tidak ‘melawan’ Israel, dan terus menantikan kedamaian tiba kembali. Namun, berbagai kejadian akibat serangan tentara Israel terhadap penduduk setempat telah membuat Hamid terpanggil untuk menjadi pejuang cilik dalam Intifada melawan tentara Israel. Hal itu tentu saja membuat segenap keluarga khawatir, mengingat apa yang telah terjadi pada sang ayah.
Rakyat Palestina telah melakukan berbagai perlawanan untuk menghadapi tentara Israel. Rakyat Palestina, tua muda, telah berjuang dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka memperjuangkan 'kebebasan' yang telah terampas dari hidup mereka. Banyak hal yang telah dicoba Hamid untuk memberikan perlawanan kepada Tentara Israel. Namun seringkali gagal dilakukan jika kegiatan tersebut berhasil diketahui oleh keluarganya. Hamid memang seringkali terpaksa harus menahan diri dalam melakukan perlawanan kepada Tentara Israel mengingat luka yang tersimpan dalam hati keluarganya.
Kegiatan yang paling sering dilakukan Hamid dengan diam-diam melawan tentara Israel adalah melemparkan batu kepada Tentara Israel bersama sahabatnya Tariq. Kondisi Tariq sendiri lebih mengenaskan daripada Malaak. Semenjak sang ayah mati tertembak oleh tentara Israel dalam pangkuannya, Tariq menjadi pribadi yang membisu dan tertutup. Tak ada lagi cahaya dalam kehidupannya, sehingga Tariq nyaris menjadi pribadi misterius yang menyimpan luka.
Suatu kejadian membuat Tariq dapat keluar dari kehidupannya yang sunyi dan mendekatkannya dengan Malaak. Kejadian itu pula yang semakin mendekatkan Malaak kepada kakaknya, Hamid. Namun kekhawatiran akan bayang-bayang kehilangan Hamid membuat Malaak berusaha melawan segala ketakutannya dan rasa traumanya untuk menyelamatkan Hamid, dengan bantuan sebuah bendera Palestina.
Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:
Masih ada cerita tersisa dari perjalananku ke Jakarta. Semoga sahabat-sahabat yang membaca tidak bosen deh. (^_^) Kali ini aku mau cerita tentang kejadian yang aku alami selama perjalananku yang terakhir kali dengan Kereta Api beberapa hari yang lalu.
Pada saat kereta belum terlalu jauh meninggalkan stasiun Madiun, tiba-tiba terdengar suara benturan yang cukup keras di badan kereta. Rupanya ada orang jahil yang melempari kereta dengan menggunakan batu. Wah, kira-kira mengapa ya ada orang yang sampai berbuat seperti itu ?
Pengalaman itu belum cukup. Saat pulang dari Jakarta, tiba-tiba ada orang yang melempar batu lagi ke kereta yang aku tumpangi. Kali ini mengenai kaca kereta. Hal itu tentu saja mengagetkan penumpang yang duduk tepat di samping jendela, 2 kursi di depanku. Untungnya kaca jendelanya tidak sampai pecah, hanya retak saja. Seandainya kacanya pecah, bisa dipastikan penumpangnya pasti akan mengalami luka yang serius tuh.
Beberapa jam kemudian kejadian serupa terjadi lagi. Kali ini untungnya mengenai badan kereta, seperti saat keberangkatanku sebelumnya. Aku jadi semakin heran, mengapa semakin banyak yang melempari kereta dengan batu. Padahal pada 2 kali perjalananku ke Jakarta sebelumnya, dengan kereta juga, kejadian seperti itu tak terjadi.
Aku tak tahu tentang apa yang menyebabkan terjadinya pelemparan batu itu. Aku tak paham apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Kalau hanya iseng saja, aku tak yakin, karena tindakan itu bisa saja melukai dan mencelakai orang lain. Kalau dilakukan karena rasa tak suka, maka rasa tak suka itu ditujukan kepada siapa ?
Soal lemparan batu itu membuatku jadi teringat dengan buku yang beberapa hari yang lalu selesai aku baca. Buku itu berjudul "Stone in My Hand (sebuah pesan cinta)". Buku yang merupakan karangan Cathryn Clinton ini merupakan sebuah fiksi sejarah, yang menceritakan tentang seorang gadis bernama Malaak dan keluarganya, yang terjadi pada Kota Gaza pada tahun 1988 dan 1989. Pada saat itu Gaza sedang dalam pendudukan tentara Israel dan merupakan tahun awal dari kebangkitan Intifada yang pertama kali. Intifada secara harfiah berarti pembebasan.
Digambarkan, Malaak si gadis kecil itu sempat menjadi pribadi yang sangat tertutup dan pendiam sejak kematian ayahnya pada jaman pendudukan tentara Israel itu. Kehilangan sang ayah sangat memukul perasaan Malaak. Ditambah lagi adanya perubahan keadaan yang semula tentram dan damai menjadi situasi yang sangat tidak menentu dan tidak aman semenjak pendudukan tentara Israel. Dalam kesendiriannya, dan mencoba mencari jawab atas semua tanya yang tak jua menemukan jawabnya, Malaak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama seekor burung yang diberinya nama Abdo.
Setelah ayahnya meninggal, Malaak hidup bersama ibunya, Hend kakak perempuannya dan Hamid, kakak laki-lakinya. Malaak, kakak perempuannya dan ibunya memilih untuk tidak terlibat dalam konflik. Mereka beranggapan rasa aman dapat mereka peroleh jika mereka tidak ‘melawan’ Israel, dan terus menantikan kedamaian tiba kembali. Namun, berbagai kejadian akibat serangan tentara Israel terhadap penduduk setempat telah membuat Hamid terpanggil untuk menjadi pejuang cilik dalam Intifada melawan tentara Israel. Hal itu tentu saja membuat segenap keluarga khawatir, mengingat apa yang telah terjadi pada sang ayah.
Rakyat Palestina telah melakukan berbagai perlawanan untuk menghadapi tentara Israel. Rakyat Palestina, tua muda, telah berjuang dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka memperjuangkan 'kebebasan' yang telah terampas dari hidup mereka. Banyak hal yang telah dicoba Hamid untuk memberikan perlawanan kepada Tentara Israel. Namun seringkali gagal dilakukan jika kegiatan tersebut berhasil diketahui oleh keluarganya. Hamid memang seringkali terpaksa harus menahan diri dalam melakukan perlawanan kepada Tentara Israel mengingat luka yang tersimpan dalam hati keluarganya.
Kegiatan yang paling sering dilakukan Hamid dengan diam-diam melawan tentara Israel adalah melemparkan batu kepada Tentara Israel bersama sahabatnya Tariq. Kondisi Tariq sendiri lebih mengenaskan daripada Malaak. Semenjak sang ayah mati tertembak oleh tentara Israel dalam pangkuannya, Tariq menjadi pribadi yang membisu dan tertutup. Tak ada lagi cahaya dalam kehidupannya, sehingga Tariq nyaris menjadi pribadi misterius yang menyimpan luka.
Suatu kejadian membuat Tariq dapat keluar dari kehidupannya yang sunyi dan mendekatkannya dengan Malaak. Kejadian itu pula yang semakin mendekatkan Malaak kepada kakaknya, Hamid. Namun kekhawatiran akan bayang-bayang kehilangan Hamid membuat Malaak berusaha melawan segala ketakutannya dan rasa traumanya untuk menyelamatkan Hamid, dengan bantuan sebuah bendera Palestina.
Komentar yang masuk untuk tulisan tersebut:
- a-chen2 September 2009 17.24Pertama dulu.....
- ko' punya sii waktu buat ngebaca semua itu mba'..?!??! keren ajja saiia pikir.. di tengah2 kesibukan sebagai ibu rumah tangga... menghabiskan beratus2 buku (pastinya*) di riview... di tulis ulang di blog.. ck ck ck... saluddd!!!
lhoohh ko' malah ngalor ngidul gni?!??! gpp kan mba'..??!?! hueheheh.. dasar pingin tauuuuu ajjahhh :( - Saat ini kereta api Indonesia udah dipasangi film di kaca jendelanya buat mencegah lemparan batu memecah kaca yang potensial bisa melukai orang. Beberapa orang memang punya mental jelek dan tidak punya kesadaran untuk menjaga nyawa orang asing. Aku pernah baca ada masinis yang terpaksa pensiun gara-gara buta karena matanya kena pecahan kaca waktu kereta yang dijalaninnya dilemparin batu.
Gara-gara takut lemparan batu itu, aku nggak pernah sudi duduk di pinggir jendela.. - Sip deh repewnya....
Jika : Kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu tanpa Kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan dan politik tanpa prinsip maka bersiap-siaplah menerima kehancuran. Manusia tidak bisa melakuk...an hal yang benar disatu sisi kehidupannya sementara disisi lainnya ia melakukan hal yang salah. Hidup adalah kesatuan yang tak terbagi-bagi. ( Mahatma Gandhi ) - he he .. kalau lempar batu di kereta mah sudah dari dulu mbak, sampai sekarang. Kalau melakukan perjalanan kereta dari jakarta to bogor. minimal yah adalah satu kenang kenangan. he he ..
tapi sesekali pernah sepi juga. Suamiku pernah kena, lecet di dahi. yah berdarah sedikit. waktu itu malah naik kereta ekonomi yang notabene jendelanya terbuka sana sini.
Begitulah nasib kereta kita. Sudah memprihatinkan, eh rakyatnya tak menjaga keutuhan keretanya .. gimana gak pusing pemerintah .. - Mbak...aku numpang pinjam gambar cover buku ini + aku link posting ini untuk resensinya ya...